Muhammad Noer, Pegiat Literasi dari Pelosok Desa untuk Indonesia
“Tanpa dinyana oleh siapapun, suatu ketika cahaya penerang menghampiri kami. Ada satu sosok pegiat literasi dari desa yang menginginkan kemajuan pondok pesantren kami dalam bidang literasi.”
- Qothrunnada Ashfiya, Fadhilatunnisa Aghniya Ramadhani & Sabrina Miftaqul Jannah -
Kota Garam, begitu orang sering menyebut tanah Kartini yang ada di Kabupaten Rembang ini. Sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Tengah. Dari Kota Rembang berjalan menggunakan kendaraan dengan jarak kurang lebih dua puluh lima kilometer ke arah tenggara, maka anda akan sampai ke sebuah desa yang bernama Gunem. Di desa dan kecamatan Gunem ini berdiri sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP), berbasis boarding school alias sekolah sambil mondok.
Pondok Pesantren Al Falah, itulah nama lembaga yang menaungi para pelajar yang sambil mondok. Pesantren ini terbilang pesantren modern, walau dari sisi fisik bangunan dan fasilitasnya lebih mirip pesantren tradisional. Pun demikian dengan para santri yang hampir 100% dari kalangan masyarakat menengah ke bawah, kalau tidak mau dikatakan golongan miskin. Ponpes Al Falah ini berada di bawah naungan yayasan organisasi Muhammadiyah.
Pondok pesantren yang mengunggulkan program Tahfidzul Qur’an ini telah berhasil membawa para santrinya untuk menghafal Alquran. Bahkan dalam tiga tahun perjalanan, sudah ada santri yang hafalannya sampai 8 juz. Hal ini dikarenakan Pondok Pesantren Al Falah Gunem memang benar-benar serius dalam menarget hafalan Alquran. Namun sayang sekali, di pondok pesantren ini belum mengenal dunia literasi. Para santri dan asatidz belum tahu apa itu literasi.
Memang di pondok pesantren kami ini sudah memiliki perpustakaan, hanya saja buku-buku yang ada di perpustakaan tidak ada satu pun buku yang diminati oleh para santri. Ibarat kata, baru saja santri menginjakkan kaki di mulut pintu perpustakaan, baru saja mereka melihat judul buku-bukunya, kepala mereka sudah pada pusing, perutnya mual dan ingin muntah karena matanya hanya melihat buku pelajaran berjajar rapi tak pernah terjamah tangan manusia. Buku pelajaran seperti Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, buku PAI dan buku sejenisnya nyaris terlihat baru. Dengan buku yang ada membuat para santri tidak memiliki minat membaca dan ogah menginjakan kaki ke perpustakaan sekolah. Hingga saat ini, perpustakaan kami tersebut tidak ada pengunjungnya, bahkan seperti tempat angker tanpa penghuni.
Tidak jauh dari pondok pesantren di mana kami menuntut ilmu—jaraknya hanya beberapa langkah saja—terdapat sebuah bangunan yang tidak begitu besar dan tidak pula terlalu kecil. Tempat itu adalah bangunan Balai Desa Gunem, Kecamatan Gunem. Di sana terbagi beberapa ruangan, salah satunya adalah perpustakaan milik Desa Gunem. Lagi-lagi kondisi perpustakaan desa tersebut bagaikan “kota mati” yang ditinggalkan oleh penghuninya. Tidak ada satu pun masyarakat yang pernah berkunjung ke perpustakaan untuk membaca buku-buku di sana. Alasannya sama yaitu buku-buku yang ada sama sekali tidak diminati oleh masyarakat. Perpustakaan itu pun berdiri hanya sebatas formalitas umum saja. Di desa ini juga tidak ada bangunan yang bernama TBM (Taman Baca Masyarakat), rumah baca dan sejenisnya. Perpustakaan saja tidak ada yang berminat, apalagi taman baca biasa. Kondisinya semakin parah, ketika kami yang hidup di pelosok desa, jauh dari akses informasi dan keilmuan. Tidak ada satu pun toko buku seperti Gramedia dan yang lainnya.
Tanpa dinyana oleh siapapun, suatu ketika cahaya penerang menghampiri kami. Ada satu sosok pegiat literasi dari desa yang menginginkan kemajuan pondok pesantren kami dalam bidang literasi. Lalu beliau menghadap pendiri pondok pesantren, K.H Rohmat atau biasanya kami lebih suka memanggil Mbah Rohmat saja, agar lebih akrab jika berbincang dengan beliau. Kemudian beliau menyampaikan apa yang diangankan yaitu untuk memajukan pondok kami dengan cara memperkenalkan, mengajarkan dan membina para santri pondok dengan dunia literasi. Beliau adalah sosok pendidik, motivator dan penulis buku. Beliau bernama Muhammad Nur Samsi atau yang lebih dikenal dalam dunia perbukuan dengan nama pena Muhammad Noer.
Muhammad Noer telah menulis banyak judul bahkan ada bukunya yang best seller dengan berjudul “Hypnoeteacing for Successfull Learning”. Pada tahun 2019 yang lalu, Mohammad Noer mulai menggerakkan Kelas Literasi di pondok pesantren kami. Launching pertama Kelas Literasi hanya beranggotakan sembilan santriwati saja. Dari anggota angkatan pertama berhasil menerbitkan sebuah buku "Antologi Cerpen: Calon Penghuni Surga".
...........................
Kisah lengkap "Muhammad Noer, Pegiat Literasi dari Pelosok Desa untuk Indonesia" dapat anda baca di buku Para Pejuang Literasi.
Posting Komentar untuk "Muhammad Noer, Pegiat Literasi dari Pelosok Desa untuk Indonesia"